Senin, 13 April 2015

Geng bando hitam



Geng bando hitam
G
eng ini mungkin terkesan sangat asing, atau aneh. Geng ini terdiri dari empat anak, dua anak cewek dan dua anak cowok. Mereka tengah bersahabat sejak kelas X. Mereka bersekolah di SMA Harapan Bangsa. Brian, Revan, Dinda dan Silvi inilah yang mencetuskan Geng Bando Hitam.
Suatu pagi, Brian dan Revan sangat kebingungan. Mereka berdua menanti kedatangan dua cewek yang selalu jadi malaikat penolong mereka.
“Mana sih Dinda sama Silvi?” ucap Brian.
“Tau lama banget sih datangnya. Biasanya mereka kan sudah pada datang jam segini.” ucap Revan.
“Bisa gawat kalau mereka gak cepet datang.” ucap Brian.
Beberapa menit kemudian, Silvi dan Dinda datang.
“Kenapa tuh muka ditekuk aja?” tanya Silvi.
“Udahlah sil, gak usah ditanya lagi. Paling juga nungguin kita.” ucap Dinda.
“Tuh, Dinda aja paham. Berarti pinjem dong?” ujar Brian.
“Iya Sil, pinjem dong. Kalian gak mau kan melihat kita dihukum?” ucap Revan.
“Ya udah deh, nih. Tapi yang cepet nyalinnya.” ucap Silvi.
“Siap boss.” ucap Brian.
Bel pun berbunyi dan pelajaran pertama di mulai. Pelajaran matematika yang sangat disukai oleh Dinda. Sedangkan Brian dan Revan sibuk menyalin tugas kimia.
Usai pelajaran matematika, dilanjut dengan pelajaran kimia. Waktu terasa berjalan dengan lambat.
Pelajaran kimia yang membosankan pun akhirnya terlewati. Revan dan Brian merasa lega.
“Akhirnya, bel juga. Sumpah rasanya males banget.” ucap Revan.
“Iya nih, ngantuk lagi.” ucap Brian.
“Oh iya, makasih ya Sil, Din, kita jadi gak dihukum deh.” ujar Revan.
“Ok. Tapi kalian itu gak boleh kayak gini terus-terusan. Kalian harus berubah.” ucap Dinda.
“Maunya juga gitu tapi susah.” ujar Brian.
“Bukannya susah, tapi males.” ucap Dinda.
“Ya mau gimana lagi, emang susah Din.” ujar Revan.
“Terserah kalian, aku sama Silvi cuma ngingetin kalian aja.” ucap Dinda.
Dinda dan Silvi pergi meninggalkan Revan dan Brian. Sampai pulang sekolah, Brian mencegah Silvi dan Dinda.
(Brian menarik tangan Silvi dan Dinda)
“Apaan sih, pake narik-narik tangan, sakit tau.” ucap Dinda kesal.
“Wah, nyari gara-gara. Ngajakin perang nih ceritanya.” ujar Silvi.
“Woy.. Ya gak lah. Aku itu cuma mau minta tolong sama kalian.” ucap Brian.
(Silvi dan Dinda saling berpandangan)
“Minta tolong apaan?” tanya Silvi.
“Gimana kalo ntar malam kita belajar bareng.” ucap Brian.
“Ya ampun kirain apaan. Kalau itu gampang lah.” ucap Dinda.
“Beneran ya.” ujar Brian senang.
“Iya. Masak bohongan. Ya udah ntar malem jam 7 di rumah Dinda.” ujar Silvi.
“Yakin di rumah Dinda?” tanya Brian.
“Mau gimana lagi, kalau malem kan Dinda gak boleh keluar.” ujar Silvi.
“Sip deh. Aku sms Revan kalau gitu.” ucap Brian.
“Ya udah kita balik duluan.” ucap Silvi.
Dinda menunggu kedatangan sahabat-sahabatnya. Silvi dan Brian datang bersamaan, tinggal menunggu Revan.
“Revan belum datang Din?” tanya Brian.
“Belum, kirain bareng kamu.” ujar Dinda.
“Tadi pas aku ke rumahnya, dia udah berangkat. Tapi kok belum sampai ya?” ucap Brian.
“Perasaan di jalan juga gak macet.” ucap Silvi.
“Ya udah kita belajar duluan aja, ntar juga datang kok.” ucap Dinda.
“Okelah.” ucap Brian.
Tiga puluh menit kemudian, terdengar suara motor yang tak asing lagi. Itu pasti Revan.
“Akhirnya, datang juga. Kemana aja sih?” ucap Brian.
“Muter-muter. Pusing nih.” ucap Revan.
“Kamu kenapa sih? Kok mukanya bete gitu?” tanya Dinda.
“Gak papa, kecapekan aja abis muter-muter.” jawab Revan.
“Gila kamu, dari tadi kita tungguin malah muter-muter.” ucap Brian.
“Baru tau ya, kalo gue gila. Kemane aja lo…” ujar Revan.
“Udah-udah, belajar lagi yuk.” ujar Silvi.
Keesokannya…
Saat jam istirahat, Dinda melihat Revan yang tengah melamun dan menghampirinya.
“Hey… ngelamun aja sih. Mikirin apaan, kayaknya serius banget.” ucap Dinda.
“Siapa juga yang melamun. Sok tau!” ucap Revan.
“Ye… aku tu serius. Aku tau kamu lagi mikirin sesuatu.” ucap Dinda.
“Dinda… I’m fine, okay.” ucap Revan.
“Berapa tahun sih kita sahabatan. Kamu gak bakal bisa bohongin aku. Aku tau, kamu lagi ada masalah kan? Kenapa kamu diam? Kamu bisa cerita sama kita.” ucap Dinda.
“Aku cuma gak mau ngerepotin kalian. Kalian harus konsen buat ulangan, aku gak mau ganggu Brian. Dia semangat banget buat belajar dan berubah.” ucap Revan.
“Van, apa gunanya kamu punya sahabat, kalau tiap kamu punya masalah cuma kamu simpan sendiri. Sahabat itu bukan hanya berada di saat kita senang, tapi di saat kita punya masalah, kita butuh mereka. Sahabat itu tempat untuk berbagi.” ucap Dinda.
“Kamu bener, seharusnya aku berubah dari dulu. Mungkin kalau dari dulu aku dengerin kata-kata kamu kejadiannya gak akan seburuk sekarang. Aku bener-bener nyesel dan gak tau musti gimana lagi.” ucap Revan.
“Van, apapun masalah yang kamu hadapi pasti ada jalan keluarnya. Percaya deh sama aku.” ucap Dinda.
“Aku dilarang main band lagi, gara-gara aku cuma mikirin band, nilai aku jadi gak karu-karuan. Sekolah berantakan, gak ada yang bener.” ucap Revan.
Dinda sedih melihat keadaan Revan. Kalau dia dilarang main band, pasti Brian akan sangat kehilangan Revan. Dinda mencoba berpikir keras. Ia yakin pasti ada jalan keluarnya.
“Van, dengerin aku. Sekarang kamu fokus buat sekolah dulu. Kamu fokus sama pelajaran, buktikan sama orangtua kamu, kalau kamu bisa.” ucap Dinda.
“Kamu bener Din, harusnya aku gak putus asa dulu.” ucap Revan.
“Nah gitu dong, itu baru Revan sahabat Dinda.” ucap Dinda.
Revan mulai fokus mengikuti pelajaran sekolah, begitupun Brian. Ia menjadi lebih bersemangat karena Revan juga ingin berubah. Sekarang sedikit demi sedikit telah tampak perubahan yang positif pada kedua anak ini. Para guru juga sangat senang terhadap perubahan mereka.
Brian sangat senang karena ia berhasil mendapatkan nilai ulangan yang memuaskan. Begitu pun Revan, namun masih ada yang membebani dirinya.
“Kenapa tuh si Revan, bukannya seneng dapat nilai bagus.” ujar Silvi.
“Dia ada masalah. Band mereka harus tampil minggu depan, dan Revan dilarang ngeband lagi. Aku juga bingung gimana caranya supaya orangtuanya Revan ngijinin Revan main band lagi.” ujar Dinda.
“Ya ampun, kok aku gak tau sih.” ujar Silvi.
“Brian juga baru tau kemarin, makanya dia juga agak bingung.” ujar Dinda.
“Sekarang tinggal satu hal, gimana caranya supaya Revan tetep bisa ikut maggung minggu depan.” ujar Brian.
“Tenang, kita akan berusaha supaya Revan tetap main band.” ujar Dinda.
“Bener yang dibilang Dinda. Diijinin atau gak, aku bakalan tetap manggung sama kamu.” ucap Revan.
“Tapi resikonya besar Van, kalau orangtua kamu tau, bisa-bisa kamu akan dipindah. Aku gak mau berpisah sama kamu, kamu itu sahabat aku.” ujar Brian.
“Apapun resikonya akan aku terima. Kamu harus percaya, aku akan tetap ada disini bersama kalian, geng kita gak akan bubar. Geng Bando Hitam.” ucap Revan.
Dinda tersenyum melihat semangat Revan. Ia akan berusah membantu sahabatnya itu untuk mewujudkan impiannya. Dinda mempunyai ide, semoga ini akan berhasil.
Hari yang ditunggu pun tiba. Revan berangkat menuju lokasi bersama Silvi. Sedangkan Brian dan Dinda menunggu di lokasi.
“Nah itu mereka datang.” ucap Brian.
“Gimana kamu udah siap Van?” tanya Dinda.
“Iya, semoga semuanya lancar.” ucap Revan.
“Everything will be ok. Trust me!” ucap Dinda.
“Ok, sekarang kalian siap-siap.” ucap Silvi.
“Sil, aku pergi sebentar, kalau meraka nyari aku bilang aja aku lagi pergi sebentar.” ucap Dinda.
“Emang kamu mau kemana, 20 menit lagi acara dimulai.” ucap Dinda.
“Udah, nanti kamu juga tau. Wish me luck.” ucap Dinda.
Dinda berangkat menemui orangtua Revan. Ia sangat berharap mereka mau mendengarkan kata-katanya. Tepat setelah berada di depan orangtua Revan, Dinda menjelaskan semuanya.
“Om, tante, tolong pikirkan sekali lagi. Revan sangat menyayangi kalian.” mohon Dinda.
“Jadi perubahan Revan selama ini hanya demi bandnya itu, bukan karena kami.” ucap Papa Reva.
“Bukan, Revan berubah karena ia merasa bersalah, ia telah mengecewakan kalian. Dan ia ingin membuat kalian bangga padanya.” jelas Dinda.
“Tapi kenapa dia harus main band lagi, apa selama ini uang yang saya kasih itu kurang.” ucap Papa Revan.
“Maaf, tapi harta tidak menjadi tolak ukur kebahagiaan seseorang. Saat Revan main band, ia merasa senang. Ia merasa menjadi dirinya sendiri, orang akan memandangnya sebagai Revan, bukan anak pengusaha. Itulah yang membuat dia bahagia.” ucap Dinda.
“Kamu benar, Revan pasti mencari jati dirinya sendiri.” ucap Mama Revan.
Dinda mengajak kedua orangtua Revan tuk melihat konser band Revan. Papa dan Mama Revan sangat kagum dengan anak semata wayangnya itu. Mereka tak menyangka Revan bermain sebagus ini.
Usai bermain Revan segera turun dan menghampiri kedua orangtuanya.
“Pa, Ma maafin Revan. Revan gak bisa…” ucap Revan.
“Cukup, Van. Papa dan Mama sudah mengerti sekarang. Maafkan kami karena terlalu memaksa kamu.” ucap Papa Revan.
“Iya, kamu telah berusaha keras untuk menunjukkan semua ini pada kami. Untung Dinda datang dan memberitahukan semuanya. Permainan kamu sangat bagus.” ucap Mama Revan.
“Apa, Dinda datang menemui papa dan mama.” ucap Revan terkejut.
“Sorry, Van. Aku nekat ngelakuin ini karena aku gak mau persahabatan kita akan bubar kalau kamu pindah. Dan kamu gak bisa wujudin mimpi kamu.” ucap Dinda.
“Makasih ya Din. Kamu udah berusaha keras buat mempertahankan persahabatan kita.” Ucap Revan.
“Itulah persahabatan. Dan inilah gunanya sahabat.” ucap Dinda.
“Thanks ya kalian semua udah berusaha keras. Aku bersyukur punya sahabat kayak kalian.” ucap Revan.
Akhirnya kedua orangtua Revan mendukung keputusan Revan. Revan sangat bahagia, dan ia tak ingin berpisah dengan sahabat-sahabatnya. Ia akan terus mengejar mimpi-mimpinya dan membuktikan pada semua orang, kalau ia bisa.


mau liat cuplikan x facktor indonesia ? langsung klik aja disini :  yessa asadela x facktor indonesia